Plasma Dikhianati, HGU Tak Ada: Rakyat Lima Desa Buka Suara, Tagih Keadilan

GELORA 24

- Redaksi

Jumat, 27 Juni 2025 - 00:57 WIB

5030 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Empat Lawang, Sumatera Selatan — Di balik hamparan pohon sawit yang menghijau di Kecamatan Ulu Musi, tersembunyi cerita kelam tentang pengkhianatan, ketidakadilan, dan penindasan yang berlangsung selama lebih dari tujuh tahun. Warga dari lima desa — Muara Kalangan, Batu Lintang, Simpang Perigi, Tanjung Agung, dan Kunduran — akhirnya bersatu menyuarakan satu kata: cukup.

Perlawanan itu dituangkan secara sah dalam Berita Acara Rapat Tuntutan Plasma yang diselenggarakan pada Senin, 21 April 2025 di kantor PT Galempa Sejahtera Bersama (GSB). Rapat tersebut dihadiri langsung oleh perwakilan perusahaan, Koperasi Lawang Maju Bersama (LMB), serta delegasi resmi dari kelima desa. Dari pertemuan itu lahir sebuah tuntutan yang tegas: pembagian hasil kebun plasma dengan skema 70 persen untuk perusahaan inti dan 30 persen untuk masyarakat harus direalisasikan. Masyarakat menetapkan batas waktu hingga tanggal 14 Mei 2025 sebagai tenggat akhir. Jika hingga tanggal tersebut tidak ada realisasi konkret, masyarakat menyatakan akan kembali melakukan panen mandiri dan menuntut pengembalian penuh hak atas lahan secara hukum.

Dalam pertemuan yang penuh tekanan tersebut, masyarakat menyatakan tidak akan menerima alasan apapun dari PT GSB. Mereka menilai seluruh kegiatan perusahaan selama ini berlangsung di atas tanah milik masyarakat tanpa bagi hasil, tanpa transparansi, dan bahkan diduga kuat tanpa legalitas berupa Hak Guna Usaha (HGU) yang sah.

Masyarakat menekankan bahwa jika panen mandiri kembali dilakukan dan perusahaan tidak memberikan kompensasi atau ganti rugi seperti sebelumnya, maka warga akan menempuh jalur hukum untuk menuntut pengembalian tanah yang kini dikuasai oleh PT GSB.

Sementara itu, manajemen PT GSB memberikan jawaban yang bersifat normatif. Mereka mengklaim bahwa realisasi plasma masih belum dapat dilakukan karena proses administrasi yang belum selesai. Beberapa alasan yang disampaikan termasuk masih berlangsungnya pendataan Calon Petani dan Calon Lahan (CPCL), belum terbitnya Surat Keputusan dari Bupati terkait legalitas kerja sama, serta belum dibangunnya lahan inti milik GSB. Namun alasan-alasan tersebut tidak mampu menenangkan keresahan masyarakat yang telah menunggu lebih dari tujuh tahun.

Baca Juga :  The Art of Public Speaking: Tips and Techniques for Delivering a Powerful Presentation

Bagaimana mungkin sebuah perusahaan yang telah menanam dan memanen sawit sejak tahun 2012 belum juga menyelesaikan proses administrasi dasar hingga tahun 2025? Masyarakat menduga bahwa PT GSB sengaja mengulur waktu dan menutupi fakta bahwa mereka belum memiliki legalitas yang memadai. Apalagi, pernyataan dari perusahaan bahwa HGU belum dimiliki justru memperjelas dugaan bahwa operasional GSB selama ini tidak sah.

Menurut ketentuan hukum, kegiatan usaha perkebunan yang dilakukan di atas tanah bukan milik perusahaan wajib memiliki HGU. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Pasal 23 ayat (3) Permentan Nomor 5 Tahun 2019 juga menegaskan bahwa perusahaan yang belum memiliki HGU tidak dapat menjalankan usaha perkebunan. Pelanggaran atas aturan tersebut bisa dikenai sanksi administratif termasuk pencabutan izin usaha, sebagaimana diatur dalam Pasal 107 UU Perkebunan.

Tidak hanya persoalan HGU, masyarakat juga menyoroti kewajiban perusahaan untuk membangun kebun plasma. Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 Pasal 58 ayat (2) menyatakan bahwa perusahaan perkebunan wajib membangun kebun masyarakat paling sedikit 20 persen dari total lahan yang diusahakan. Jika PT GSB telah mengelola 724 hektare lahan sawit, maka minimal 144,8 hektare harus diberikan untuk kebun masyarakat. Kewajiban ini dipertegas kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian Pasal 12 ayat (1), yang menyebutkan bahwa perusahaan perkebunan wajib membangun kemitraan dengan masyarakat di sekitar lokasi usahanya.

Namun faktanya, tidak satu hektare pun dari 724 hektare yang diberikan kepada masyarakat sebagai bagian dari kewajiban plasma. Semua hasil panen dikuasai sepenuhnya oleh PT GSB, dan warga hanya menerima janji manis yang tak kunjung ditepati.

Yang menjadi bukti kuat dan sah dari peristiwa ini adalah berita acara yang ditandatangani oleh semua pihak. Dari pihak perusahaan dan koperasi, dokumen tersebut ditandatangani oleh Brian M. Ginting, Indratno, dan Medi. Sementara dari lima desa, terdapat 14 nama yang membubuhkan tanda tangan mereka sebagai bentuk kesepakatan dan kekuatan hukum. Dari Desa Simpang Perigi hadir Dekki Suarno, SH, Mashuri Aryanto, SE, dan Ramlan. Dari Desa Kunduran hadir Rudianto dan Syarip. Dari Desa Tanjung Agung hadir Suratno, MH. Dari Desa Muara Kalangan hadir Rayes, Jumli, dan Sardi. Dari Desa Batu Lintang hadir Ruslan, Zakaria, dan Piter.

Baca Juga :  The Art of Public Speaking: Tips and Techniques for Delivering a Powerful Presentation

Mereka semua menandatangani kesepakatan bahwa jika perusahaan tidak merealisasikan plasma hingga 14 Mei 2025, maka masyarakat akan mengambil tindakan lanjutan yang sah. Dalam tanda tangan itu terkandung janji perjuangan bersama yang tak akan ditinggalkan.

Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada tindakan nyata dari Pemerintah Kabupaten Empat Lawang. Ketika dikonfirmasi oleh redaksi, Camat Ulu Musi Mawardi Emran hanya menjawab singkat melalui pesan WhatsApp, “Tanyakan saja sama PT GSB.” Sebuah pernyataan yang dianggap oleh masyarakat sebagai bentuk pengabaian dan tidak bertanggung jawab terhadap penderitaan warga yang seharusnya didampingi oleh pemerintah.

Bupati Empat Lawang pun belum memberikan tanggapan atas konflik berkepanjangan ini. Sementara itu, masyarakat lima desa menyatakan dengan tegas bahwa jika tidak ada tindakan cepat dari pemerintah, maka mereka akan melanjutkan perjuangan mereka melalui jalur hukum, aksi damai massal, pengaduan ke DPRD, hingga laporan resmi ke pemerintah provinsi dan pusat.

“Kami tidak akan berhenti. Ini tanah kami, dan kami tahu hak kami. Kalau pemerintah tidak mau hadir, maka kami akan hadir sendiri di pengadilan,” ucap Jumli, tokoh dari Desa Muara Kalangan.

Apa yang terjadi di Ulu Musi adalah potret nyata ketimpangan kekuasaan antara korporasi dan rakyat. Satu perusahaan mampu mencengkeram 724 hektare tanah tanpa plasma, tanpa HGU, dan tanpa kehadiran negara yang melindungi rakyatnya. Kini, masyarakat lima desa telah bersatu. Mereka tidak lagi bisa dibungkam dengan janji. Mereka menuntut keadilan yang telah tujuh tahun dirampas.

Pemerintah daerah, aparat hukum, DPRD, dan kementerian terkait harus segera turun tangan. Negara harus kembali hadir untuk rakyatnya. Jangan tunggu sampai kemarahan rakyat berubah menjadi konflik sosial yang tidak diinginkan.

 

Laporan Investigasi: Lia Hambali & Tim**
Editor: Redaksi Investigasi**

 

Berita Terkait

The Art of Public Speaking: Tips and Techniques for Delivering a Powerful Presentation

Berita Terkait

Rabu, 29 Maret 2023 - 02:46 WIB

The Art of Public Speaking: Tips and Techniques for Delivering a Powerful Presentation

Berita Terbaru